Mediapublik.co Jakarta – Tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat, pendeta, bahkan gereja disebut sebagai bagian dari pihak-pihak yang tidak perduli kepada penderitaan masyarakatnya, terutama dalam persoalan Hak Masyarakat Adat atas Wilayah Adat.
Bahkan, mereka malah menyumbang kian beratnya persoalan dan konflik yang dihadapi Masyarakat Adat dalam memperjuangkan hak-hak ulayatnya.
Karena itu, jika dengan komunikasi yang baik yang dilakukan oleh masyarakat korban kepada pihak-pihak itu tidak membuahkan hasil yang memadai, maka tidaklah haram apabila para aktivis dan atau bersama Masyarakat Adat melakukan aksi unjuk rasa atau demonstrasi kepada pendeta, gereja, tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat tersebut.
Hal itu terungkap dari Diskusi Rutin bertajuk ‘Jalur Tempuh Pengembalian Hak Atas Wilayah Adat’ yang diselenggarakan oleh Badan Pengurus Cabang Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Jakarta (BPC GMKI Jakarta) Masa Bakti 2023-2025 secara daring, pada Rabu, 01 Mei 2024.
Diskusi dengan narasumber atau pemantik materi diskusi, Fernando Simanjuntak (Koordinator Departemen Masyarakat BPC GMKI Jakarta), yang juga aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Tano Batak (AMAN Tano Batak). Dengan moderator, Renny Rosa (anggota GMKI Jakarta), memaparkan betapa sulitnya Masyarakat Adat di berbagai daerah di Nusantara untuk memperoleh kembali hak-hak atas tanah dan ulayatnya.
“Sampai saat ini, banyak sekali hambatan yang disengaja dilakukan penguasa dan pengusaha sehingga hak-hak Masyarakat Adat tidak dapat diserahkan kembali kepada Masyarakat Adat. Bahkan, Undang-Undang Perlindungan Masyarakat Adat pun hingga kini terbengkalai, dan tidak kunjung disahkan,” tutur Fernando Simanjuntak.
Salah seorang peserta diskusi dari Sangir, Sulawesi Utara, Regen Hontong, menyampaikan, persoalan Tanah Adat ini menjadi panjang karena ada pihak-pihak yang seharusnya berpihak kepada masyarakat, malah berkhianat kepada masyarakat itu sendiri.
“Tidak bisa disangkal, salah satunya adalah gereja. Hal ini tidak hanya terjadi di Tanah Batak, tetapi terjadi juga di Daerah kami ini. Ini persoalan yang serius. Kita dapat melihat bagaimana gereja kehilangan empatinya terhadap masyarakat. Sebagai gerakan yang bergerak atas kesadaran iman, bagaimana kita mengembalikan empati gereja terhadap masyarakat? Perlukah kita demo gereja? Supaya kembali menampilkan teologi keugaharian itu,” tutur Regen Hontong yang merupakan mahasiswa Teologi yang kini sedang menunggu Vikaris dan akan segera menjadi seorang pendeta di daerahnya.
Atas respon Regen Hontong itu, hampir semua peserta diskusi setuju. Bahwa tokoh-tokoh agama seperti pendeta dan gereja yang tidak berpihak kepada perjuangan Masyarakat Adat, harus dimintai pertanggungjawabannya sebagai pemimpin umat atau jemaat yang juga bagian dari Masyarakat Adat itu sendiri.
Praktisi Hukum, Sandi Eben Ezer Situngkir, yang juga sering melakukan advokasi persoalan-persoalan tanah dan wilayah Adat, menyampaikan, selain aktor dari Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum (APH) bersama pengusaha yang mendesain ‘perampasan’ Hak Tanah Masyarakat Adat, tidak sedikit juga anggota masyarakat setempat yang menjadi ‘Kapitalis’ dan atau menjadi kaki tangan kaum kapitalis perampas hak tanah rakyat.
“Contohnya di Sumatera Utara, di Tano Batak sana, banyak Batak-Batak Kapitalis yang malah turut menjadi kaki tangan kaum kapitalis dan kaum oligarki untuk menguasai dan merampas tanah adat,” ungkap Sandi Eben Ezer Situngkir.
Lebih lanjut, Sandi Eben Ezer Situngkir yang juga salah seorang penatua di Gereja HKBP di Jakarta itu menyerukan, agar gereja-gereja dan tokoh-tokoh gereja mengambil sikap keberpihakan kepada Masyarakat Adat di daerahnya masing-masing.
“Pimpinan Gereja bisa mengambil sikap untuk bersama-sama dengan jemaatnya Masyarakat Adat, dalam memperjuangkan hak-hak atas tanah itu. Minimal, setiap pendeta dalam khotbah-khotbah mereka, bisa menyuarakan penderitaan dan perjuangan Masyarakat Adat, lima menit saja dalam setiap khotbahnya disisipkan, itu sudah sangat berguna bagi gelombang perjuangan Masyarakat Adat,” tuturnya.
Sandi Eben Ezer Situngkir juga mengingatkan, perlunya diluruskan informasi dan regulasi di Indonesia mengenai Hak Tanah Masyarakat Adat.
“Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi kita bernegara, bahkan dalam putusan-putusan MA, maupun di Undang-Undang Pokok Agraria, sudah sangat jelas mana saja yang dimaksud dengan tanah masyarakat dan mana saja yang dimaksud tanah negara. Jangan pula semua tanah masyarakat diserobot atas nama Negara, bahkan hutan pun diserobot dan dijual kepada para pengusaha, kaum kapitalis,” bebernya.
Sandi juga setuju agar tokoh-tokoh gereja, membuktikan dan melakukan suara-suara kebenaran dengan berpihak kepada Masyarakat Adat dalam memperjuangkan hak-haknya. “Kalau perlu didemo, ya didemo saja,” ujarnya.
Peserta diskusi lainnya, Jhon Roy P Siregar, menyampaikan, perjuangan dan advokasi terhadap persoalan Masyarakat Adat perlu terus menerus dilakukan evaluasi. Sehingga, akan terpetakan siapa saja kawan berjuang dan siapa saja yang menjadi lawan dalam perjuangan Masyarakat Adat.
Selain itu, perlu dilakukan upaya penyadaran hukum dan regulasi kepada Masyarakat Adat, tentang regulasi dan hak-hak Masyarakat Adat yang harus diperjuangkan.
Jhon Roy P Siregar yang merupakan praktisi media itu juga menyarankan agar dilakukan kajian hukum mengenai dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan pejabat negara atau pejabat Pemerintah yang mengeluarkan ijin kepada pengusaha yang menguasai tanah dan ulayat Masyarakat Adat.
“Sebab, sederhananya, itu tanah Masyarakat Adat, tapi dalam banyak praktik yang terjadi pejabat negara atau pejabat pemerintah ‘menjualnya’ kepada pengusaha melalui skenario pemberian ijin HPH misalnya. Mereka mendapat untung dan diduga disogok mengeluarkan ijin-ijin itu. Karena itu, Masyarakat Adat juga bisa menggugat para pejabat itu dengan dugaan tindak pidana korupsi,” tandas Jhon Roy P Siregar.