Mediapublik.co. | Al-Quran Surat Al-Hujarat Ayat 13 menyebutkan bahwa “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa”. Takwa lazim didefinisikan sebagai “menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya”.
Ibnu Qayyim berkata, “Hakikat takwa adalah menaati Allah SWT atas dasar iman dan ihtisab. Baik terhadap perkara yang diperintahkan atau pun perkara yang dilarang. Oleh karena itu, seseorang melakukan perintah itu karena imannya, yang diperintahkanNya disertai dengan pembenaran terhadap janji-janjiNya. Dengan imannya itu pula, ia meninggalkan yang dilarang Allah SWT dan takut terhadap ancamanNya”.
Ath-Thobari berkata, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling tinggi takwanya pada Allah SWT. Yaitu dengan menunaikan berbagai kewajiban dan menjauhi maksiat. Bukanlah yang paling mulia dilihat dari rumahnya yang megah atau berasal dari keturunan yang mulia”.
Sementara menurut Ibnu Katsir, “Sesungguhnya kalian bisa mulia dengan takwa dan bukan dilihat dari keturunan kalian”. Dalam Tafsir Jalalain disebutkan, “Janganlah kalian saling berbangga dengan tingginya nasab kalian. Seharusnya kalian saling berbangga manakah di antara kalian yang paling bertakwa”.
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani berkata, “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertakwa. Yang bertakwa itulah yang berhak menyandang kemuliaan, yaitu lebih mulia dari orang yang tidak memiliki sifat takwa. Dialah yang paling mulia dan tinggi kedudukannya. Jadi, klaim kalian dengan saling berbangga pada nasab kalian yang mulia, maka itu bukan menunjukkan kemuliaan”.
Dengan demikian, dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa kemuliaan seseorang terletak dalam kadar takwanya. Bukan yang lain. Bukan karena kekayaannya, jabatannya, pengetahuannya, status sosialnya, juga bukan karena keturunannya atau nasabnya.
Walaupun sejatinya, seluruh umat manusia itu mulia dibanding dengan makhluk lain. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-Isra Ayat 70 bahwa “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
Artinya, pada mulanya seluruh manusia itu kadar mulianya setara. Lalu oleh Allah SWT “diseleksi” kembali dengan kategori tertentu. Dan alat penyaringnya adalah ketakwaan. Ketakwaan membawa manusia ke derajat yang lebih tinggi.
Takwa sebagai indikator kemuliaan manusia, kemudian “dikompres” oleh Nabi SAW dengan sabdanya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia lain”.
Jadi, orang mulia itu, selain karena dia takwa, juga keberadaannya berdampak dan membawa kemanfaatan bagi orang lain. Bermanfaat itu, bukan semata karena harta, tapi juga karena ilmu dan pengetahuannya, serta tindakan atau akhlaknya.
Belakangan ini kita dihebohkan oleh polemik tentang nasab, yang adalah silsilah keturunan yang disandang oleh seseorang. Sudah mafhum kita ketahui, bahwa ketika seseorang menyandang keturunan dari garis baik-baik, maka dia relatif merasa lebih baik, lebih mulia, dibanding dengan orang-orang dengan nasab “yang tidak jelas”.
Nasab yang diyakini sebagai “keturunan berkelas” ini bisa karena darah biru, bangsawan, ningrat, kerabat sultan, horang kaya, keluarga pejabat, turunan waliyullah, dan yang belakang ini heboh, adalah mereka yang mengaku turunan Rosulullah SAW.
Bila seseorang diasumsikan menjadi bagian dari keturunan orang-orang yang masuk dalam kategori tersebut, seolah memiliki status sosial lebih tinggi dibanding manusia lain pada umumnya. Lebih keren, lebih berkelas, dan lebih mulia.
Merasa lebih mulia dibanding dengan orang lain tersebab faktor diatas, bisa menjadi naluri setiap manusia. Dalam skala yang lebih jauh, perasaan seperti inilah yang diyakini oleh Hitler dengan Nazi Jerman yang meyakini bahwa Bangsa Arya sebagai leluhur mereka merupakan ras paling unggul diantara qabilah yang ada di muka bumi ini.
Atau seperti perasaan superioritas yang diyakini oleh kelompok Ku Klux Klan di Amerika Serikat terhadap warga berkulit hitam. Juga supremasi kulit putih di Afrika Selatan yang akhirnya diruntuhkan oleh Nelson Mandela dengan sistem apartheidnya. Termasuk relasi sosial di Nusantara antara orang Eropa, Arab, Cina, dan pribumi pada zaman kolonial.
Perkara superioritas manusia atas manusia lain ini juga menerpa pada mereka yang mengaku sebagai keturunan Rosulullah SAW. Apalagi mereka merasa yakin dengan posisi superioritasnya itu mendapat justifikasi bermodalkan hadits Rosulullah SAW sendiri.
Hadits sebagai garansi status sosial mereka ini, oleh sebagian dari mereka sendiri dipakai sebagai pembenaran. Karena merasa dalam urat nadinya mengalir darah Rosulullah SAW, privilege mereka dapatkan.
Zona nyaman yang mereka nikmati ini kemudian mendapat penguat dari umat Islam pada umumnya. Para fans dan pengagum ini memperlakukan mereka begitu istimewa. Dipuja, disanjung, cium tangan bulak-balik. Kalau bisa menyentuh, serasa sarat karomah. Apalagi disentuh. Mungkin menggelepar.
Karena itulah, ketika muncul sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan oleh seorang kiai, yang menyimpulkan bahwa ada keterputusan silsilah atau turunan antara Rosulullah SAW dan beberapa generasi setelahnya, dengan generasi tertentu dan setelahnya, membuat banyak pihak merasa terganggu. Pastinya, yang paling merasa terganggu adalah mereka yang selama ini mengaku sebagai keturunan Rosulullah SAW.
Karena bila hasil penelitian itu benar, akan meruntuhkan keyakinan dan anggapan selama ini. Dampaknya, termasuk privilege dan perlakuan istimewa yang mereka terima selama ini. Sayangnya, counter yang mereka lakukan atas temuan ini tidak dilakukan dengan cara-cara argumentatif.
Apalagi para fans, penggemar, dan pengagumnya. Mereka yang sudah kadung melakukan pemuliaan, bereaksi keras. Pada ruang-ruang publik media diskusi dan interaksi penuh dengan murka, amarah, dan serapah. Tidak terima junjungannya dianulir keabsahannya.
Padahal, hadapi saja hasil penelitian itu dengan penelitian juga. Dengan begitu menjadi sepadan. Bukan dengan penolakan, teriakan, apalagi bentakan. Hadapi hasil otak itu dengan otak juga. Dengan begitu menjadi setara. Bukan dengan otot. Apalagi ngotot. Hadapi tulisan dengan tulisan. Bukan celotehan. Apalagi ceplok-batok. Dengan begitu mitra tanding jadi seimbang.
Ketika belakangan muncul narasi bahwa polemik ini merupakan upaya memecah-belah persatuan umat, karena gegara perkara ini menuai kisruh dan konflik, saya menangkap bahwa narasi itu justru merupakan “jalan damai yang seolah bijak”, padahal sejatinya untuk menutupi ketiadaan argumentasi dan bukti lagi.
Terlepas dari polemik itu, sebaiknya tidak perlu saling keukeuh untuk memastikan keabsahan keturunan sebagai cara untuk meraih kemuliaan. Karena sebagaimana firman Allah SWT yang saya tulis diawal, bahwa kemuliaan itu bukan ditentukan oleh turunan, jabatan, kekayaan, kecendekiaan, dan status sosial.
Kemuliaan itu ditentukan oleh seberapa besar kadar takwa kita kepada Allah SWT, serta seberapa besar keberadaan kita untuk memberikan kemanfaatan pada orang lain. Dengan takwa dan kebermanfaatan, bahkan seorang hamba sahaya pun bisa meraihnya. Termasuk kita, yang bukan keturunan langsung Rosulullah SAW. Wallahualam.
***
Pasirgintung, 30 Agustus 2023
Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (FORDISKA LIBAS)