Gerak 08: Pekerja Domestik Migran Bukan Pembantu, Melainkan Pahlawan

IMG 20231217 WA0028

Mediapublik.co Jakarta – Sebagai makhluk sosial yang tidak dapat menjalani hidup sendiri, berhentilah melihat dengan sebelah mata profesi pekerja domestik migran, mulailah menghargai peran sosial-ekonomi mereka, jenis pekerjaan hanya perihal pembagian tugas dalam proses produksi.

Ruang dan waktu selalu berkembang, demikian juga makluk hidup terus bergerak meluasi bumi. Termasuk primata yang dengan segala kemampuan survivalnya, selalu mencari ruang-ruang baru untuk memenuhi kebutuhan hidup serta meningkatkan kualitas keterlangsungan speciesnya.

Sepanjang sejarah peradaban, melalui revolusi pertanian, revolusi industri hingga era globalisasi dan revolusi informasi, menyeberangi hutan, gurun, lautan hingga samudera, manusia selalu mencari penghidupan yang lebih baik.

Manusia-manusia modern abad-21 menyebar melintasi batas-atas negara untuk membangun kehidupannya, keluarganya, kerabat hingga negaranya. Banyak faktor yang mendorong masyarakat dunia termasuk dari Indonesia untuk bermigrasi. Aktivitas perdagangan barang dan jasa adalah faktor dominan dalam bermigrasi selain permasalahan katastropi, perang, wabah penyakit, kelaparan, penjajahan, ‘politik Etis’ kolonial, perbudakan dan lain sebagainya.

Perdagangan jasa terjadi dikarenakan keterbatasan jumlah lapangan pekerjaan dibanding jumlah angkatan tenaga kerja di negara asal. Mereka menawarkan jasa di berbagai bidang kehidupan, termasuk bekerja pada rumah tangga.

Peran Ekonomi dan Sosial
Peran pekerja migran domestik memiliki peran luar biasa dan mulia. Dalam membangun ekonomi nasioal mereka menyumbangkan devisa terbesar untuk negara. BP2MI mencatat total pekerja migran Indonesia yang didominasi pekerja domestik migran dengan jalur yang benar atau procedural lebih dari 4.686.190 orang per April 2023.

Sedangkan data Bank Indonesia (BI) menunjukkan mereka menyumbangkan devisa sebesar US$9,71 miliar, setara dengan Rp.145.65 triliun pada 2022. 10 Provinsi terbesar penyumbang remitansi dari para TKI adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, NTB, Lampung, Bali, Sumatera Utara, Banten, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta.

Sedangkan Trickle down effect positif bagi keluarga, lingkungan asal dan pihak majikan mereka adalah memberi kesempatan untuk suami dan istri bekerja sehingga mereka dapat mengumpulkan gaji maupun profit lebih besar dalam bidang usahanya jika mempekerjakan pekerja migran domestik, semacam double propeller, baling-baling ganda bagi ‘kapal ekonomi’ keluarga dalam mengarungi samudera kehidupan.

Bagi keluarga si pekerja, seperti keluarga Sumarni dari Lampung timur yang kiriman bulanannya dapat menjadi modal usaha warung bakso milik suaminya, Haryanto yang akrab dikenal sebagai Mas Yanto di Metro, Lampung Tengah. Mas Yanto tentu membeli bahan pokok bakso berupa daging sapi, tepung terigu, sayur dan mie dari warung dan pasar setempat. Dengan demikian ekonomi masyarakat di daerah asal dapat bergerak.

Hukum Internasional dan Nasional
Dalam era modern, hak asasi manusia mulai ditegakkan terutama semenjak dicanangkan “Universal Declaration of Human Right” atau deklarasi universal hak asasi manusia oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948.

Perpindahan orang dari wilayah satu ke wilayah lainnya baik bersifat temporer maupun permanen harus dilakukan dengan rasa keadilan dan manusiawi. Hal ini diatur dalam konvensi internasional perlindungan hak asasi manusia.

Termasuk di dalamnya mengatur perlindungan pekerja migran domestik dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan Konvensi Hak Anak, khususnya Konvensi tentang Migrasi untuk Pekerjaan (No.97).

Konvensi tentang Migrasi dalam pekerjaan Kasar dan Promosi Kesetaraan Pekerjaan Peluang dan Perlakuan terhadap Pekerja Migran (No.143), Rekomendasi tentang Migrasi untuk Pekerjaan (No.86).

Pada Konferensi Perburuhan Internasional yang diselenggarakan oleh ILO (International Labor Organization) pada 2010 menetapkan Pasal 1 Konvensi 189 yang berisi tiga hal yaitu, yang dimaksud dengan “pekerjaan rumah tangga” adalah pekerjaan dilakukan di atau untuk rumah tangga dalam Bahasa Inggris Domestic Worker, bukan Household helper.

Adapun istilah “pekerja rumah tangga” berarti siapa saja yang terlibat dalam pekerjaan rumah tangga dalam suatu hubungan kerja.

Namun orang yang melakukan pekerjaan rumah tangga saja sesekali atau secara sporadis dan tidak pada suatu dasar pekerjaan bukanlah pekerja rumah tangga. Pemunculan konvensi ILO No. 189 disebabkan oleh pencitraan negatif yang terjadi terhadap pekerja migran domestik yang terlatih dan bersertifikasi di seluruh dunia. Mayoritas dari mereka, sekitar 78,4 persen adalah perempuan yang kerap sekali mengalami diskriminasi, pemiskinan, dan kekerasan seksual.

Kesadaran Palsu, Usaha Ilegal Dan Pencitraan Negatif Di Indonesia
Profesi Pekerja Domestik Migran masih dipandang miring dan kurang terhormat. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, faktor kultural.

Dalam alam agrikultur, budaya feodal masih sangatlah kental di mana sistem sosial dan ekonomi memisahkan masyarakat berdasarkan kasta, golongan ekonomi dan profesi dalam relasi vertikal gusti-kawulo, penguasa-budak.

Dalam bukunya “Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680”, Anthony Reid memberikan gambaran bahwa wilayah Asia Tenggara mempraktekkan hubungan vertikal penguasa di atas, dan budak di bawah.

Penguasa merekrut mereka yang memiliki permasalahan ekonomi seperti, tidak mampu membayar utang, untuk membeli mas kawin, gagal panen, malapetaka alam, serta kesadaran palsu.

Mereka dipekerjakan untuk membabat hutan, membangun istana, memasak, membersihkan properti, mengasuh anak, menghibur penguasa dan rekan-rekan kelas penguasanya.

Seperti di Banten, setiap bangsawan-saudagar Banten mendatangkan puluhan hingga ratusan para budak dari Sulawesi dan Bali melalui kongsi dagang Hindia Timur (VOC). Kehilangan budak berarti kehilangan kelas kebangsawanan.

Sistem sosial penguasa-budak ini diperkuat dengan pembelokan falsafah kebudayaan Jawa sebagai ‘episentrum’ peradaban Nusantara saat itu.

“Narimo ing pandum”, mengikuti nasib yang telah digariskan Tuhan yang Maha Kuasa meskipun harus membudak, seolah nasib seseorang tidak dapat diperjuangkan untuk menjadi lebih baik. Secara redaksional dan makna sesungguhnya “Narimo ing pandum, makaryo ing Nyoto”, bekerja dengan kesungguhan.

Falsafah hidup untuk dapat menerima segala sesuatu dengan legowo (lapang dada) dan bekerja dengan nyata dan sungguh sungguh untuk meraih kebahagiaan.

Hal ini terjadi karena hegemoni budaya yang dibentuk oleh Penjajah Belanda berkolaborasi dengan penguasa Keraton Jawa saat itu melalui Instituut Vor Het Javaansche Taal atau Lembaga Bahasa Jawa, pada tanggal 29 Oktober 1832 di Surakarta saat itu sudah mendarah daging dengan tujuan untuk pembentukan kesadaran palsu masyarakat Jawa agar mudah dijajah.

Karena dipisahkan dengan falsafah lainnya: “Ora obah, ora mamah”, tidak bekerja, maka tidak makan.