Mediapublik.co Jakarta – Oknum penyidik kepolisian dari Dirreskrimum Polda Metro Jaya diduga telah melakukan kebohongan, dan dugaan permainan karena tidak melakukan penahanan terhadap para Tersangka yang kini sudah jadi Terdakwa kasus tindak pidana dengan Nomor Perkara 246/Pid.B/2024, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut), yakni Perkara Tindak Pidana Menyuruh Menempatkan Keterangan Palsu Kedalam Akta Autentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Pasal 266 KUHP).
Para Tersangka tersebut adalah Aky Jauwan, Ernie Jauwan yang dikabarkan berada di Australia, dan Eva Jauwan atau Biksuni Eva alias Suhu Vira yang diketahui menjadi rohaniawan di Vihara Dharma Suci Pantai Indah Kapuk (PIK).
Terdakwa Aky Jauwan alias AJ berdomisili Jakarta Utara. Aky Jawuan, kelahiran Medan, 4 Juni 1949, dengan alamat Kampung Gusti TPI Blok Y/21, RT 12/RW 15, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Sedangkan Tersangka Ernie Jauwan, kelahiran Medan 22 Mei 1977, saat ini diketahui tinggal di 5 Wallace SQ, Narwee, NSW 2209, New South Wales, Australia. Dengan Nomor Paspor PA3613349. Dengan Driver Licence 2037910630.
Kemudian, Terdakwa Eva Jauwan atau Suhu Vira menjadi rohaniawan di Vihara Dharma Suci Pantai Indah Kapuk (PIK) Jakarta. Eva Jauwan kelahiran Medan, 30 Desember 1978.
Eva Jauwan memiliki Nomor Induk Kartu Tanda Penduduk (KTP) : 3172017012780018. Dan di KTP beralamat di Kampung Gusti TPI Blok Y/21 RT 12/RW 15, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Sedangkan Vihara Dharma Suci Pantai Indah Kapuk (PIK) tempat Eva Jauwan sebagai rohaniawan, beralamat di Wihara Dhammasekha Dharma Suci atau Vihara Dharma Suci Pantai Indah Kapuk yang berlokasi di Jalan Pantai Indah Selatan 2 Blok V No 9, Cluster Manyar, Pantai Indah Kapuk, RT 4/RW 1, Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara.
Mantan menantu keluarga Jauwan, yang merupakan korban dalam perkara ini, Katarina Bonggo Warsito, mengungkapkan, sejak kasus ini dilaporkan ke Polda Metro Jaya, sudah sangat banyak kejanggalan yang terjadi dalam prosesnya.
“Para Tersangka, termasuk Biksuni E tidak pernah dilakukan penahanan. Tapi di Surat Dakwaan kok para Terdakwa disebut dilakukan penahanan,” tutur Katarina Bonggo Warsito kepada wartawan, Jumat (19/4/2024).
Bahkan Terdakwa Aky Jauwan (yang merupakan mantan mertua Katarina Bonggo Warsito), tampak sehat dan bugar ketika hadir ke persidangan, dan tidak pernah ditahan.
Demikian pula, Biksuni Eva Jauwan alias Suhu Vira, hadir ke persidangan dengan memakai jubah biksuni, tidak pernah ditahan.
Sedangkan Tersangka Ernie Jauwan, sampai saat ini diinformasikan masih berada di Australia. “Namun tidak pernah dikeluarkan Red Notice atau memasukkan ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh pihak aparat,” ujar Katarina Bonggo Warsito.
Pihak keluarga mantan mertuanya, yakni Aky Jauwan alias AJ, Ernie Jauwan alias EJ yang tinggal di Australia, dan E atau Biksuni Eva Jauwan alias Suhu Vira, diduga sejak awal telah ada ‘main’ dengan oknum Polisi dan oknum Jaksa, untuk terus-terusan melakukan upaya dugaan mafia hukum, agar kasus yang dilaporkan korban itu tidak diproses.
“Dari mulai proses Lid, Dik, hingga P-21, sangat lama dan bertele-tele,” ujarnya.
Bahkan, menurut Katarina, dirinya sebagai Pelapor selalu mendapat dugaan ancaman, intimidasi dari pihak Vihara bahkan informasi menghabisi nyawanya. Pihak yang mengintimidasi tersebut akhirnya meninggal dunia, terjun dari apartemen tanpa ada yang tahu sebabnya.
Notaris yang membuat akta pun, meninggal dunia tiba-tiba. Sehingga makin tersendat kasus ini.
Selain itu, berbagai dagelan proses hukum selalu dipertontonkan oleh oknum aparat, yakni oknum penyidik polisi bersama oknum Jaksa, untuk menghentikan Katarina dalam memperoleh hak dan keadilannya.
“Anda harus mendatangkan ahli perkawinan yang tidak ada hubungan dengan pasal 266 KUHP. Alasannya jikalau itu tidak ada, maka tidak akan ada tersangka. Itu yang disampaikan Kanit Jatanras Unit 2 Polda Metro Jaya saat itu. Hal itu juga yang terjadi di Kejaksaan Tinggi DKI, bahwa meminta keterangan ahli agama Buddha dari Bimas Kementerian Agama, tentang harta gono gini dalam agama Buddha. Padahal itu sangatlah tidak relevan dengan pasal 266 KUHP,” beber korban.
Katarina juga mengakui, ada semacam tekanan yang dialaminya dari oknum penyidik, yang meminta uang hingga 100-an juta rupiah, agar kasus itu bisa segera dinaikkan ke Lidik alias untuk penetapan Tersangka, sampai menawarkan 600 juta rupiah untuk mencabut perkara di cyber dan Kamneg.
Perkara tindak pidana dengan Nomor Perkara 246/Pid.B/2024/PN Jkt.Utr ini, sedang bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut).
Persidangan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim bernama Syofia Marlianti T, dengan anggota Majelis Hakim Hotnar Simarmata (Anggota Majelis Hakim), dan Dian Erdianto (Anggota Majelis Hakim).
Perkara ini ditangani oleh Jaksa Peneliti dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Hadi Karsono, dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara (Kejari Jakut) atas nama Tri Nurandi Sinaga dan Dhiki Kurnia.
Penyidik di Polda Metro Jaya yang menangani laporan ini sejak awal adalah Aiptu Rudi Mustopa, dari Jatanras Polda Metro Jaya, yang menjadi Penyidik Pembantu Dirreskrimum Polda Metro Jaya, dan Kompol M Eko P Barmula SH. SIK. MH., yang sebelumnya merupakan Penyidik Dirreskrimum Polda Metro Jaya yang kini BKO (Bantuan Kendali Operasi) alias ditugaskan ke Kementerian Informasi (Kominfo).
Terkait pekerjaannya menangani laporan Katarina Bonggo Warsito di Polda Metro Jaya ini, Kompol M Eko P Barmula SH. SIK. MH., menyampaikan agar sebaiknya dikonfirmasi langsung ke Penyidik di Jatanras Polda Metro Jaya saja.
“Langsung ke Penyidik saja, Mas. Di Jatanras Polda Metro Jaya,” jawabnya singkat ketika dikonfirmasi wartawan.
Sedangkan, Aiptu Rudi Mustopa, dari Jatanras Polda Metro Jaya, yang menjadi Penyidik Pembantu Dirreskrimum Polda Metro Jaya dalam kasus ini, mengelak untuk memberikan pernyataan.
“Saya hanya Penyidik, Mas. Jikalau ada yang perlu untuk wawancara atau konfirmasi lewat Kabid Humas Polda Metro Jaya,” ujar Aiptu Rudi Mustopa menanggapi komunikasi wartawan yang meminta konfirmasi.
Sementara, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi yang dikonfirmasi wartawan lewat nomor selulernya, tidak memberikan respon.
Katarina Bonggo Warsito menjelaskan, awalnya, dirinya menikah dengan seorang pria bernama AM (Alexander Muwirto-Red) pada tahun 2008 silam. Mereka menikah secara agama Budha.
AM memiliki orang tua bernama AJ (Aky Jauwan -Red) dan berdomisili Jakarta Utara. Selain AM, AJ masih memiliki dua anak perempuan lagi, yakni EJ (Ernie Jauwan-Red) yang tinggal di Australia, dan E (Eva-Red) yang merupakan Biksuni di Vihara di daerah PIK.
Nasib kurang beruntung dialami Katarina Bonggo Warsito dan suaminya AM. Keluarga baru itu tidak dikaruniai keturunan, malah AM terus-terusan terlibat pada dugaan penggunaan judi dan narkoba.
“Akhirnya, kami bercerai pada sekitar dua tahun berikutnya, tanpa membicarakan gono gini,” ujarnya.
Setelah perceraian, korban pergi ke luar negeri untuk menenangkan diri selama 1 tahun lebih. Dan kembali ke Jakarta, setelah AM kembali berulah dengan membawa kabur cek kontan.
Dalam perjalanan tersebut tahun 2016, Ibu mertua yakni Ibunya AM meninggal dunia. Delapan bulan kemudian AM pun ikut meninggal dunia yang katanya jatuh di kamar mandi.
Setelah meninggal, mulailah permainan dari keluarga Almarhum AM untuk mengambil alih semua harta dengan cara memalsukan KTP dan membuat akta keterangan hak mewaris, serta akta pernyataan waris yang menyebutkan AM tidak pernah terikat perkawinan yang sah seumur hidupnya.
Dikarenakan selalu dipersulit dan bahkan dituduh melakukan pernikahan yang tidak sah, maupun berbagai dugaan pemalsuan yang sengaja dilakukan untuk menjegal Katarina Bonggo Warsito, akhirnya Katarina pun membawa persoalan ini ke proses hukum dengan membuat laporan ke Polda Metro Jaya pada 28 Mei 2021.
Nah, sejak saat itu, menurut Katarina, pihak keluarga mertuanya, yakni AJ, EJ yang tinggal di Australia, dan E yang merupakan Biksuni di Vihara PIK, terus-terusan melakukan upaya dugaan mafia hukum, agar kasus yang dilaporkan korban itu tidak diproses, dan tidak disidangkan sebagaimana mestinya.
Perkara ini sedang bergulir di persidangan pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut). Sidang berikutnya dengan agenda Pemeriksaan Terdakwa akan dilanjutkan pada Selasa, 23 April 2024, di Ruang Prof R Subekti atau Ruang 7, Lantai 2, Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut).