Mediapublik.co Jakarta | Praktisi Pendidikan Profesor Doktor Ketut Surajaya menyatakan setidaknya sampai saat ini ada 22 Perguruan Tinggi Negeri yang diubah statusnya menjadi PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Dari jumlah itu para mahasiswa menyatakan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) sangat tinggi, bahkan ada mahasiswa S3 yang putus tengah jalan karena tak mampu bayar biaya kuliah.
“Bisa dikatakan PTN BH justru memberatkan mahasiswa,” katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (9/9/2024).
Diskusi yang menghadirkan pembicara antara lain Prof. Dr. Anak Agung Gde Agung (Ketua Pembina Yayasan Trisakti), Prof Dr Ketut Surajaya (anggota Yayasan Trisakti), dan Nugraha Bratakusumah (Penasihat Hukum Yayasan Trisakti) dipandu oleh wartawan senior FNN, Hersubeno Arief.
Ketut menduga ada hal-hal yang tidak beres dalam kasus perampokan Yayasan Trisakti, karena pemeritah ikut campur. Seharusnya ikut campurnya pemerintah bersifat mendidik bukan memihak. “Ekor dari semua itu adalah pengambilalihan dan pengubahan status Yayasan Trisakti menjadi PTNBH,” katanya.
Dalam status PTNBH, kata Ketut, dijumpai banyak masalah yang rumit. “Sebelum PTNBH ada Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Saya kebetulan anggota majelis wali amanah di UI, ada 4 PTNBH antara lain: UI, UNPAD, UGM, dan ITB. Rumitnya luar biasa,” paparnya.
Menurut Ketut tujuan PTNBH sebetulnya mulia, tetapi tampaknya pemerintah belum siap, yaitu membantu pengelolaan dari segi pendanaan. “Tapi tak terwujud, malah menimbulkan tingginya uang kuliah tunggal. Niatnya membantu, tetapi prakteknya malah menaikkan UKT. Artinya justru tidak membantu,” paparnya.
Ketut menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh mengambil badan hukum yang lain. Apalagi, tidak ada kebutuhan Universitas Trisakti untuk beralih ke PTNBH. “Universitas Trisakti itu sudah bagus, sudah world class,” tegasnya.
Ketut menyatakan bahwa Kemendikbud membuat satu terobosan seolah-olah baru. Mereka membuat iming-iming dengan mengkampanyekan bahwa jika berubah status menjadi PTNBH, maka bisa masuk world class. “Sebetulnya itu hanya akal-akalan, sebab Trisakti lebih bagus, manajemem keuangan dan lainnya juga bagus. Mana pemerintah bisa bantu?,” tanyanya.
Menurut Ketut, jika Rektor dan Dekan sudah kena kebijkaan Kemendikbud, biasanya mahasiswa akan ikut. Mahasiswa akhirnya terprovokasi bahwa PTNBH bakal berkualitas tinggi. Padahal PTNBH itu hanya berlaku untuk negeri bukan untuk perguruan swasta.
“Saya pribadi tidak setuju perubahan PTNBH karena yang menderita mahasiswanya. Ini harus dihentikan. Tolong pemerintah berpikir, jangan bikin hukum sendiri. Jangan mempermainkan hukum untuk kepentingan lain seperti politik dan interest,” tegasnya.
Ketut menegaskan dalam kasus Yayasan Trisakti yang sudah incracht di Mahkamah Agung, seharusnya pemerintah turun tangan. Apapun yang dilakukan pemerintah, masyarakat yang akan mengadilinya.
*Menunggu Eksekusi*
Sebulan lebih setelah putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Kemendikbudristek, ternyata belum juga dieksekusi. Ketua Pembina Yayasan Trisakti Prof Dr Anak Agung Gde Agung mempertanyakan lambannya pemerintah dalam menangani perkara yang sangat serius ini. “Putusan MA itu sudah inchract and binding, mengapa belum juga dieksekusi?” kata Anak Agung kepada wartawan di Jakarta Minggu, (22/9/2024).
Tragedi penyerobotan Yayasan Trisakti ini bermula ketika Mendikbudristek, Nadiem Makariem mengeluarkan SK Menteri Nomor 330/P/2022, pada 24 Agustus 2022.
Landasan hukum ini dipakai Kemendikbudristek untuk merampok Yayasan Trisakti dengan mengangkat nama-nama pejabat tinggi negara yang didapuk menjadi pengurus Yayasan Trisakti Dadakan yang berjumlah 13 orang.
Surat Keputusan Menteri ini menurut Ketua Pembina Yayasan Trisakti Prof Dr Anak Agung Gde Agung melanggar Anggaran Dasar Yayasan Trisakti tahun 2005 Pasal 10 ayat 4 dan Undang-undang RI No. 16 Tahun 2001 jo. Undang-undang RI No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan pasal 28 ayat 3 yang menyatakan bahwa yang dapat diangkat menjadi anggota pembina adalah orang perseorangan berdasarkan keputusan rapat anggota pembina. Tak hanya itu, para pembina dadakan itu jelas tidak tahu sejarah perjalanan Yayasan Trisakti.
Anak Agung tidak tinggal diam. Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) tersebut kemudian digugat oleh pengurus Yayasan Trisakti Asli Prof. Dr.Anak Agung Gde Agung ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pengadilan mengabulkan gugatan para penggugat dan menyatakan Yayasan Trisakti Dadakan dianggap tidak sah. Pengadilan juga memerintahkan Kemendikbudristek harus mengembalikan Yayasan Trisakti kepada pengurus asli. Tidak hanya itu, Kemendikbudristek juga wajib memulihkan nama baik pengurus yayasan asli.
Tak percaya dengan putusan PTUN, pihak Kemendikbudristek kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Di tingkat banding, PT TUN menolak gugatan Kemendikbudristek, artinya Yayasan Trisakti Dadakan tak punya kekuatan hukum sama sekali dalam melakukan aktivitasnya. Mereka harus membubarkan diri dan mengembalikannya kepada pengurus yang lama. Menguatkan putusan di tingkat pertama, pengadilan juga memerintahkan Kemendikbudristek harus memulihkan nama baik pengurus Yayasan Trisakti yang telah dirampoknya.
Tak mau menaati hukum, pihak Kemendikbudristek menunjukkan pembangkangannya dengan tidak mengindahkan putusan PTTUN, justru mengajukan gugatan kasasi ke Mahkamah Agung.
Lagi lagi Kemendikbudristek harus gigit jari. Kasasi mereka ditolak Mahkamah Agung. Putusan kasasi ditetapkan pada Senin, 12 Agustus 2024 dengan nomor perkara 292/K/TUN/2024, Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan oleh Mendikbudristek dan Cahyo Rahardian Muzhar, dkk., menetapkan dua putusan pengadilan di bawahnya, yakni PTUN dan PTTUN. Kemendikbudristek harus hengkang dari kantor Yayasan Trisakti karena tak punya landasan hukum.
Apa yang terjadi? Sampai hari ini mereka masih bercokol di kantor Yayasan Trisakti yang sudah berdiri sejak tahun 1966. “Inilah tindakan sewenang-wenang dan menyalahi segala perundang-undangan yang berlaku terhadap yayasan yang telah mengabdi lebih dari 5 dasa warsa,” kata Anak Agung.
Narasi PTNBH menurut Anak Agung hanya untuk mempengaruhi persepsi publik tentang status perguruan tinggi negeri. Padahal kampus Universitas Trisaksti adalah kampus swasta yang tidak bisa begitu saja diubah ke PTNBH.
Mereka kata Anak Agung ingin menciptakan stigma kampus negeri yang terkesan murah di Universitas Trisakti. Padahal maksudnya adalah PTNBH yang artinya pengelola kampus harus menghidupi sendiri keuangannya.
“Sungguh ironis, kampus Universitas Trisakti selama ini berstatus swasta yang cukup berkualitas. Tiba-tiba beberapa orang ambisius ingin menguasai Trisakti. Iming-imingnya berubah ke perguruan tinggi negeri. Padahal setelah itu, diubah lagi statusnya ke PTNBH. Ini kan akal-akalan. PTNBH itu maksudnya suruh cari duit sendiri,” tegasnya.
Jadi, lanjut Anak Agung, motif mereka sudah jelas bahwa mereka ingin mengkomersialkan Universitas Trisakti atas nama PTNBH.
Sementara penasihat hukum Yayasan Trisakti Nugraha Bratakusumah menegaskan bahwa UU Nomor 12 tahun 2012 adalah undang-undang tentang perguruan tinggi negeri bukan perguruan tinggi swasta. Nugraha mempertanyakan mengapa Kemendikbudristek menyasar Universitas Trisakti yang sudah sangat mandiri dan tidak memerlukan bantuan pemeritah.
Nugraha mencium ada gelagat kurang baik dari Kemendikbudristek bahwa status Universitas Trisakti akan diubah dulu ke perguruan tinggi negeri untuk kemudian di-PTNBH-kan. “Ini namanya rekayasa hukum,” paparnya.
Menurut Nugraha, persoalan antara Yayasan Trisakti dengan pemerintah sesungguhnya telah selesai pasca ditolaknya kasasi mereka. Namun ia mempertanyakan kenapa sekarang melebar ke persoalan PTNBH.
“Bukankah sebaiknya Kemendikbud legowo menerima putusan MA? Mengapa harus mengutak-atik Yayasan Trisakti dengan dalih PTNBH,” papar Nugraha.
Nugraha menegaskan bahwa tiga proses pengadilan dari PTUN, PTTUN dan Mahkamah Agung, Yayasan Trisakti selalu menang. Maka dengan demikian SK Mendikbud tersebut batal demi hukum dan tidak ada upaya hukum yang bisa diajukan oleh Kemendikbud.
Hal ini didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2023 yang intinya pejabat negara tidak boleh mengajukan Peninjauan Kembali, saat kalah dalam kasasi. “Ini tidak hanya final dan binding, tetapi sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. SK Mendikbud Nomor 330/2022 sudah batal.
Nugraha menyarankan Menteri Nadiem Makarim untuk melakukan eksekusi secara voluntary, tanpa menunggu perintah pengadilan, karena putusannya sudah incracht.
“Saya percaya Pak Nadiem orang hebat. Ia akan segera menghapus Kepmen itu, dan merehabilitasi nama baik Prof Dr Anak Agung. Jika tidak mau secara voluntary, terpaksa kami akan ajukan ke pengadilan,” tegasnya. (abd/ant).