Pojokpublik.id Jakarta – Penuntut Umum pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan telah membacakan tuntutan terhadap Terdakwa Milawarma dkk dalam perkara akuisisi PT SBS oleh anak perusahaan PT BA (PT BMI). kelima terdakwa tersebut yaitu mantan Direktur Utama PT Bukit Asam (PTBA), Milawarma, Mantan Akuisisi Bisnis Madya PT BA serta Wakil ketua Tim Akuisisi Penambangan PTBA Nurtimah Tobing, Mantan Direktur Pengembangan Usaha PTBA Anung Dri Prasetya, Ketua Tim Akuisisi Penambangan PTBA Saiful Islam, dan Direktur Tri Ihwa Samara Selalu pemilik PT SBS sebelum diakuisisi PTBA.
“Bahwa tuntutan yang diajukan oleh Penuntut Umum sesungguhnya hanya merupakan pengulangan atau duplikasi dari Surat Dakwaan, Penuntut Umum telah mengabaikan semua fakta-fakta yang terungkap di persidangan baik yang disampaikan oleh para saksi, saksi a de charge dan para ahli,” kata Pengacara kelima terdakwa, Gunadi Wibakso saat persidangan di PN Kelas IA Palembang, Jumat (22/3/2024)
Menurut Gunadi, Hal ini menunjukkan bahwa Penuntut Umum telah gagal dalam membuktikan Surat Dakwaan tersebut. Kata Gunadi, sangat ironi bahwa di satu sisi Penuntut Umum telah gagal dalam membuktikan Dakwaan
“Namun dengan penuh keyakinan justru menyimpulkan bahwa Terdakwa Milawarma dkk. telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diuraikan dalam Dakwaan Primair Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” ucap Gunadi menjelaskan tentang fakta-fakta persidangan.
Gunadi menjelaskan, bahwa tuntutan hukuman tersebut merupakan hukuman penjara yang mendekati maksimal untuk Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Tentu, kata Gunadi, tuntutan tersebut tidak manusiawi dan hal ini menimbulkan keprihatinan bagi Para Terdakwa, Penasihat Hukum, dan pihak-pihak lain yang mengikuti jalannya persidangan ini.
“Sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, dari tuduhan-tuduhan Penuntut Umum terkait masalah perbuatan melawan hukum sebagaimana diungkapkan dalam Surat Dakwaan dan Surat Tuntutan telah nyata tidak ada satu pun tuduhan yang terbukti. Bahwa sesuai fakta-fakta yang terungkap di persidangan, aksi korporasi PT BA dalam bentuk investasi yang berupa akuisisi merupakan kebijakan/keputusan bisnis yang dilandasi oleh perencanaan yang matang sesuai dengan situasi dan kondisi bisnis batubara yang terjadi pada saat itu (Tahun 2012).
“Aksi korporasi tersebut merupakan suatu upaya penyelamatan PT BA untuk menghindari collapse seperti yang terjadi di perusahaan-perusahaan batubara lainnya,” jelas Gunadi.
Sebelum pelaksanaan aksi korporasi tersebut dilakukan, kata Gunadi, Direksi PT BA sudah menjalankan prinsip kehati-hatian dan GCG. Hal ini, kata Gunadi dibuktikan dengan ditunjuknya PT Bahana Securities selaku konsultan independen yang bertugas membantu Tim Akuisisi internal PT BA dalam melakukan kajian-kajian/feasibility study dan uji tuntas/due diligence.
“Meskipun hal tersebut tidak diwajibkan berdasarkan ketentuan Keputusan Ketua Bapepam dan LK tentang Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha Utama karena nilai investasi dalam bentuk akuisisi ini di bawah 20% dari ekuitas PT BA, ” tutur Gunadi.
Dengan demikian, kata Gunadi, proses akuisisi tersebut telah memenuhi seluruh ketentuan hukum yang berlaku, di antaranya: (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara; (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; (3) Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara. Sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-09/MBU/2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara; (4) Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-614/BL/2011 tentang Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha Utama; (5) Anggaran Dasar PT BA; (6) Keputusan Bersama Dewan Komisaris dan Direksi PT Bukit Asam (Persero) Tbk yang sering disebut dengan istilah Board Manual; (7) Anggaran Dasar PT BMI.
“Bahwa kebijakan Direksi PT BA terkait investasi dalam bentuk akuisisi tersebut telah mendapatkan persetujuan dari Dewan Komisaris PT BA dan telah dipertanggungjawabkan dalam RUPS PT BA dan sudah mendapatkan pembebasan tanggung jawab (acquit et de charge). Oleh karena itu, aksi korporasi tersebut telah dilindungi oleh doktrin Business Judgment Rules (BJR) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (5) UUPT, ” beber Gunadi.
Dikatakan Gunadi, bahwa sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan, dalam aksi korporasi berupa investasi dalam bentuk akuisisi yang dilakukan oleh PT BA tidak mengakibatkan kerugian keuangan negara. Sebagaimana dinyatakan dalam Surat Dakwaan maupun Surat Tuntutan Penuntut Umum.
“Justru yang terjadi kondisi yang sebaliknya, bahwa aksi korporasi tersebut mendatangkan benefit atau manfaat bagi PT BA antara lain PT BA dapat menekan biaya produksi batubara yang berakibat pada efisiensi biaya produksi. Sehingga membawa dampak peningkatan laba bagi PT BA dalam jumlah yang signifikan yaitu sebesar Rp. 1.882.053.739, 012 (satu triliun delapan ratus delapan puluh dua juta lima puluh tiga ribu tujuh ratus tiga puluh sembilan rupiah dua belas sen). Dengan diakuisisinya PT SBS oleh anak perusahaan PT BA (PT BMI), ” ujar Gunadi
Sesuai Laporan Keuangan PT SBS per September 2023, kata Gunadi, PT SBS telah mencatatkan laba sebesar Rp. 110.382.220.937,00 (seratus sepuluh miliar tiga ratus delapan puluh dua juta dua ratus dua puluh ribu sembilan ratus tiga puluh tujuh rupiah) dan ekuitas menjadi surplus sebesar Rp. 63.298.729.605,00 (enam puluh tiga miliar dua ratus sembilan puluh delapan juta tujuh ratus dua puluh sembilan ribu enam ratus ima rupiah) Bahwa selain hal tersebut, sesuai fakta-fakta yang terungkap di persidangan, investasi berupa akuisisi PT SBS tidak terbukti mengakibatkan kerugian negara bagi PT BA sebesar Rp. 162.466.152.401,00 (seratus enam puluh dua milyar empat ratus enam puluh enam juta seratus lima puluh dua ribu empat ratus satu rupiah) karena Penuntut Umum dalam persidangan tidak bisa membuktikan hal tersebut.
“Dalam membuktikan kerugian keuangan negara, Penuntut Umum justru mendasarkan pada Putusan MK Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006 yang mana Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor masih dikualifikasikan sebagai delik formil. Sehingga pembuktian kerugian keuangan negara cukup hanya dengan membuktikan adanya potensi kerugian negara (potential loss).
Padahal, kata Gunadi, berdasarkan Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016, kata “dapat” dalam pasal tersebut telah dinyatakan “tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum”, oleh karena itu Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang tadinya merupakan delik formil, telah berubah menjadi delik materiil. Konsekuensinya, kata Gunadi, adalah kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi tidak bisa hanya “potential loss” melainkan harus “actual loss” atau “real loss”.
“Dengan demikian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi harus nyata dan pasti jumlahnya, ” sebut Gunadi.
Gunadi menyebut, berdasarkan keterangan dan pendapat Ahli yang ditugaskan oleh Penuntut Umum untuk melakukan penghitungan kerugian negara yaitu Erwinta Marius, sesuai Laporan Perhitungan Kerugian Negara yang dibuatnya dalam perkara ini tidak dapat diyakini kebenarannya. Karena ahli yang ditugaskan Penuntut Umum tidak memiliki kompetensi melakukan perhitungan dan menetapkan adanya kerugian negara.
“Ahli tidak mempunyai kompetensi sebagai auditor investigatif, metode perhitungan yang dilakukan ahli tersebut keliru karena dalam melakukan perhitungan kerugian negara. Ahli menggunakan ekuitas negatif PT SBS sebagai salah satu komponen perhitungan padahal ekuitas negatif tersebut secara akuntansi bukan merupakan bagian dari kerugian negara sebagaimana disampaikan oleh Ahli yang dihadirkan oleh Penuntut Umum sendiri yaitu Dr. Eko Sembodo, ” tutur Gunadi.
“Ahli dalam melakukan perhitungan kerugian negara hanya berdasarkan dokumen-dokumen yang diperoleh dari penyidik tanpa melakukan konfirmasi, klarifikasi, dan wawancara dengan pihak-pihak terkait. Hal ini melanggar asas asersi dalam perhitungan kerugian negara. Oleh karena itu, dalam perkara ini tidak terjadi kerugian negara yang dialami oleh PT BA maupun PT SBS. Dengan demikian kesimpulan dari hal ini semua, sudah sangat patut dan adil jika seluruh Terdakwa dalam perkara ini dibebaskan, ” tutup Gunadi.