Mediapublik.co JAKARTA, Jumlah terlapor dugaan korupsi pemotongan honor hakim agung Tahun Angaran 2022-2023 dengan nilai total sebesar Rp. 138 milyar (40%) diperkirakan bakal membengkak. Selain Sunarto, Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang Yudisial, Suharto, Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial, peran sentral nama terlapor Asep Nursobah, Panitera Mahkamah Agung RI/Penanggungjawab Anggaran Honorarium Penanganan Perkara (HPP) bagi hakim agung selaku “distributor” uang hasil dugaan korupsi cukup menonjol, menyusul diketemukan uang direkeningnya dalam jumlah yang tidak wajar. Uang sebesar Rp. 138 milyar menjadi bancaan korupsi dibagi-bagi dalam 3 (tiga) cluster. Pertama, cluster pimpinan MA dengan nilai sebesar Rp. 97 milyar (25,9%). Kedua, cluster supervisor dengan niai sebesar Rp. 26.171.325.000,- (7%). Dan ketiga, cluster tim pendukung administrasi yudisial sebesar Rp. 14,955 milyar (4%).
“KPK harus memeriksa seluruh rekening terlapor. Uang dugaan korupsi pemotongan honor hakim agung Tahun Angaran 2022-2023 dengan nilai total sebesar Rp. 138 milyar sebagai gratifikasi yang tidak dilaporkan. KPK hanya tinggal menyandingkan jumlah uang yang ada direkening, dengan hasil Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) para terlapor. Untuk penerimaan dalam bentuk cash juga dapat dikejar “ ujar Sugeng Teguh Santoso, SH, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) dan Petrus Selestinus, SH, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) kepada wartawan di Jakarta, Senin (14/10/2024).
Menurut Sugeng Teguh Santoso, selain di PT. Bank Mandiri Tbk dan PT. BRI Tbk, Asep Nursobah Panitera Mahkamah Agung RI selaku Penanggungjawab Anggaran HPP yang pernah diperiksa KPK tahun 2016 dalam kasus korupsi suap dengan tersangka Andri Tristianto Sutrisna itu tercatat memiliki 3 (tiga) rekening pada PT. Bank Syariah Indonesia (BSI) Cabang Mahkamah Agung, yakni nomor: 257070112X – 719043052X – 117312423X.
Pada bulan Desember 2023, dalam rekening nomor: 257070112X, Asep Nursobah diduga menerima gelontoran dana hasil dugaan korupsi Pemotongan Honorarium Hakim Agung dan/atau Gratifikasi dan/atau TPPU pada Mahkamah Agung RI sebesar Rp. 4.930.658.923,- dari jumlah total porsi alokasi untuk cluster supervisor sebesar 7% (16 orang) atau senilai Rp. 26.171.325.000,- .
“Sisanya dibagi-bagi kepada petinggi sekretariat Mahkamah Agung RI antara lain W, M, RR, HIM, SH, ANK, MFG, AFK, AZA, Suh, MRA, WA, TFM, AIR dan AA. Sedangkan sebesar Rp. 14,955 milyar (4%) dibagikan kepada 100 lebih orang yang ada dalam cluster tim pendukung administrasi yudisial,” ujar Sugeng lagi.
Sebagaimana yang telah diwartakan, Sunarto, Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Suharto, Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial dan kawan-kawan bakal diperiksa KPK, terkait dugaan korupsi Pemotongan Honorarium Hakim Agung dan/atau Gratifikasi dan/atau TPPU pada Mahkamah Agung RI dalam Tahun Anggaran 2022-2023-2024 sebesar Rp. 97 milyar.
Dalam laporan IPW dan TPDI, Sunarto dan kawan-kawan dikualifisir melanggar Pasal 12 huruf E dan F jo Pasal 18 UU RI 20 tahun 2021 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Nomor 55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi jo Pasal 55 ayat ke 1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP jo Pasal 3 dan 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Bakal diperiksanya Sunarto, Suharto dan kawan-kawan mencuat setelah Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu memastikan lembaganya bakal memproses dan menindaklanjuti laporan dari IPW dan TPDI dengan memanggil semua pihak, terkait adanya dugaan korupsi Pemotongan Honorarium Hakim Agung dan/atau Gratifikasi dan/atau TPPU pada Mahkamah Agung RI dalam Tahun Anggaran 2022-2023-2024 sebesar Rp. 97 milyar, yang disampaikan Rabu (2/10/2024).
“Sampai saat ini laporan dari IPW dan TPDI tersebut masih dalam proses telaah di Direktorat PLPM (Penerimaan Layanan Pengaduan Masyarakat), belum ada di kami. Karena belum masuk penyidikan. Jadi belum bisa diinformasikan. Jadi tunggu saja,” tukasnya.
IPW, TPDI dan aktifis penggiat anti korupsi lainnya mememinta agar pemilihan Ketua MA yang akan digelar pekan ini untuk menentukan pengganti Muhammad Syarifuddin yang akan pensiun pertengahan bulan ini harus betul-betul dapat menghasilkan calon yang bersih dan berintegritas guna menjaga marwah lembaga Mahkamah Agung sebagai Benteng Terakhir Pencari Keadilan. Para hakim agung yang memiliki hak pilih agar mencegah terpilihnya calon yang berpotensi menjadi tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terkait dugaan korupsi yang dilaporkan IPW dan TPDI pekan lalu.
“Kandidat Ketua MA yang menyandang beban social distrust khususnya dari para pencari keadilan dapat membuat MA semakin terpuruk. Apalagi calon yang menyandang potential suspect sebagai tersangka, lantaran dapat merugikan Mahkamah Agung itu sendiri. Demi kepentingan masa depan Mahkamah Agung, Sunarto dan Suharto yang dinilai bermasalah lebih baik tidak mencalonkan diri. Tidak usah berstrategi untuk melindungi diri. Sikap Presiden Terpilih Prabowo Subianto sudah jelas sikapnya. Ingin pengadilan kita bersih. Tidak boleh ada lagi hakim yang mudah disogok. Untuk itu kehidupan hakim di Indonesia harus disejahterakan yang selama ini diabaikan oleh pimpinan MA termasuk Sunarto dan Suharto,” ujarnya.
TERKONFIRMASI KORUPSI
Menurut Petrus Selestinus, SH, Mahkamah Agung RI kini tengah dalam sorotan. Oknum pimpinan MA bersama-sama kesekretariatan panitera ditengarai menikmati uang hasil sunat honor hakim agung hingga mencapai Rp. 138 milyar, sementara pada sisi lain, 7.742 hakim diseluruh Indonesia hidupnya menderita. Diwarnai aksi mogok massal hakim diseluruh Indonesia – oknum pimpinan MA dan kepaniteraan kini tengah terlilit perkara korupsi.
Pemotongan HPP tersebut dicoba diberi “legitimasi” berdasarkan Peraturan Sekretaris Mahkamah Agung yang terakhir Surat Keputusan Sekretariat Mahkamah Agung RI No: 649/SEK/SK.KU1.1.3/VIII/2023 tanggal 23 Agustus 2023 tentang Perubahan Atas Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung No: 12/SEK/SK/II/2023 tentang Standar Biaya Honorarium Penanganan Perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali Bagi Hakim Agung pada Mahkamah Agung Tahun Anggaran 2023 dan Nota Dinas Panitera MA No.1808/PAN/HK.00/9/2023 tentang Pemberitahuan Alokasi Honorarium Penanganan Perkara (HPP) tahun 2023, tanggal 12 September 2023. Namun “legitimasi” itu tetap tidak dapat meniadakan terpenuhinya unsur korupsi dalam kasus Pemotongan HPP tersebut.
“Pembagian dana hasil pemotongan honor hakim agung sebesar Rp. 97 miyar (25,9%) yang diduga untuk para petinggi MA anehnya disembunyikan dalam Surat Keputusan Sekretariat Mahkamah Agung RI dan Nota Dinas Panitera MA No.1808/PAN/HK.00/9/2023 tentang Pemberitahuan Alokasi Honorarium Penanganan Perkara (HPP) tahun 2023, tanggal 12 September 2023 tersebut “ ujar Petrus.
Tata cara pembagian dan/atau penyerahan dana HPP atas terlaksananya penanganan perkara yang selesai paling lama 90 (sembilan puluh) hari dilakukan dengan diawali dimana Kepaniteraan Mahkamah Agung RI, dalam hal ini Asep Nursobah selaku Penanggungjawab HPP (Kuasa Pengguna Anggaran) menyiapkan laporan majelis yang menyelesaikan perkara 90 (sembilan puluh) hari. Kemudian mengajukan permintaan pembayaran, dan selanjutnya Bank Syariah Indonesia (BSI) selaku Bank yang membayar mengirimkan sejumlah uang sebagaimana permintaan Asep Nursobah ke rekening masing-masing Hakim Agung yang berhak.
Selanjutnya sebagaimana laporan IPW dan TPDI, pada hari yang sama, Bank BSI secara otomatis memotong dana HPP sebesar 25,95 % dari rekening Hakim Agung (diluar pemotongan untuk supervisor sebesar 7% dan 4% bagi tim pendukung administrasi yudisial), yang awalnya dilakukan tanpa persetujuan tertulis dan/atau lisan dari Hakim Agung, dan dikumpulkan di rekening penampungan yang dikelola oleh Asep Nursobah, sehingga patut diduga adanya pengumpulan uang dari potongan dana HPP yang diduga digunakan oleh oknum Pimpinan Mahkamah Agung RI, dengan dalih untuk “tim pendukung teknis yudisial”, yang kemudian diduga ternyata dipakai untuk kepentingan pribadi, yang merugikan Hakim Agung yang berhak.
Menurutnya, pemotongan dana HPP sebesar 25,95 % (diluar pemotongan untuk supervisor sebesar 7% dan 4% bagi tim pendukung administrasi yudisial) dari rekening Hakim Agung yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis dan/atau lisan dari Hakim Agung, pada awalnya diduga mendapat penolakan dari sejumlah Hakim Agung, baik dalam forum-forum kecil maupun besar. Pada pertengahan tahun 2023 beberapa Hakim Agung yang menolak diduga mengalami pemanggilan untuk menghadap Wakil Ketua Mahkamah Agung RI, Sunarto. Selanjutnya diduga atas intervensi oknum pimpinan Mahkamah Agung RI, para Hakim Agung diminta untuk membuat surat pernyataan yang diketahui masing-masing Ketua Kamar, yang ditandatangani diatas materai, yang pada pokoknya menyatakan bersedia dilakukan pemotongan dana HPP sebesar 40%, dengan rincian 29% “tim pendukung teknis yudisial”, sisanya dibagikan kepada supervisor dan tim pendukung administrasi yudisial.
Disebut diduga ada intervensi oknum pimpinan Mahkamah Agung RI terindikasi dari format dan isi surat pernyataan yang dibuat seragam, yang dikoodinir oleh pimpinan dan/atau tidak berdasarkan atas kehendak secara suka rela Para Hakim Agung, sehingga patut diduga telah terjadi pemaksaan yang bersifat massif dan terorganisir. Apabila tidak ada pemaksaan, sebagaimana yang didalilkan juru bicara Mahkamah Agung RI, Suharto, secara logis seharusnya tidak memerlukan adanya surat pernyataan. Karena dana HPP adalah hakim agung.
“Sehingga yang seharusnya menentukan jumlah yang akan diberikan kepada supporting system atau unit adalah Hakim Agung itu sendiri. Dalam rangka pemberian daan HPP kepada supporting system atau unit, pimpinan Mahkamah Agung seharusnya memperjuangkan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah untuk itu, sebagaimana yang dilakukan Mahkamah Konstitusi” tukas Sugeng lagi.
Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI 2023, jumlah perkara yang diputuskan adalah sebanyak 27.365 perkara dan Laporan Tahunan MA 2022 jumlah perkara yang diputuskan adalah sebanyak 28.024 perkara. Sehingga apabila diasumsikan pemotongan sebesar 25.95 % per perkara kasasi biasa (3 Majelis Hakim) x Rp6.750.000,00 x perkara yang diputuskan setahun, maka pada tahun 2023, terdapat pemotongan dana HPP untuk perkara kasasi biasa sejumlah Rp. 47.933 Milyar. Sedangkan pada tahun 2022 untuk perkara kasasi biasa akan diperoleh pemotongan dana HPP sebesar Rp. 49.087 Milyar.
“Saya meyakini Presiden Terpilih Prabowo Subanto akan tegas mendorong KPK agar memproses dugaan korupsi pemotongan honor hakim agung, sesuai ketentuan hukum dan perundang-undangan. Jadi cukup alasan apabila saya meminta agar para hakim agung berhati-hati dalam memilih calon ketua MA “ ujar Sugeng Teguh Santoso, SH. ()