Mediapublik.co JAKARTA – Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto terus menjadi polemik. Terutama pasca Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) mencopot Anwar Usman sebagai ketua MK buntut putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres-cawapres. Banyak pihak lalu menyebut lolosnya Gibran sarat nepotisme dan cacat etik.
Koordinator Nasional Relawan Ganjar-Mahfud untuk Indonesia (Relawan Gajamada), Asip Irama, menyebut Gibran sebagai cawapres hasil putusan cacat moral. Ketua MK sekaligus paman Gibran, Anwar Usman, terbukti melanggar etik berat saat mengabulkan gugatan batas usia minimal capres-cawapres.
“MKMK memecat Anwar Usman sebagai ketua MK, meski tetap mempertahannya sebagai hakim non palu. Banyak orang kecewa, karena pelanggaran etik berat harusnya bersangkutan dipecat tidak hormat sebagai hakim di MK. Setidaknya, putusan MKMK menjadi bukti riil ada skandal nepotisme atas lolosnya Gibran,” terang Asip dalam keterangan tertulisnya.
“Kita dengan mudah bisa mendeteksi ada kuasa kuat oligarki yang berembuk di balik meja untuk meloloskan Gibran. Semua tahu, oligarki dan nepotisme adalah penyakit kronis demokrasi yang harus dilawan,” lanjut Asip.
Menurut Asip, meski akhirnya Gibran tetap melanggeng mendampingi Prabowo sebagai cawapres, tetapi secara elektoral justru akan menggerus suara. Pasalnya, publik Indonesia hari ini begitu cerdas untuk menilai bahwa pencalonan Gibran meski lolos secara administrasi hukum, tetapi tidak legitimate dan cacat etik.
“Putusan MKMK dengan memecat Anwar Usman itu akan berdampak pada tergerusnya suara elektoral Prabowo. Ruang publik hari ini dipenuhi kekecewaan masyarakat atas ‘cawe-cawe’ oligarki dan kuasa dinasti keluarga,” terang dia.
Apalagi, dijelaskan Asip, populasi pemilih muda hari ini mencapai hampir 60 persen dari total pemilih di Indonesia. Generasi milenial dan Gen Z lazimnya masuk pada ceruk pemilih berdasarkan program, isu sensitif, prestasi. Isu politik dinasti dan oligarki Gibran, kata Asip, kini mendapat perhatian khsus dari mereka.
“Pemilih muda umumnya rasional, bukan type pemilih sosiologis berdasar agama dan suku. Isu politik MK pada akhirnya akan membuat pemilih muda yang populasinya terbesar akan menolak pasangan Prabowo-Gibran yang dianggap punya cacat masa lalu,” terang Asip.
“Ganjar-Mahfud saya kira unggul di antara kandidat lain karena tidak ada beban moril masa lalu. Tentu ini akan sangat mudah menggaet suara pemilih swing voters dan undecided voters. Pemilih rasional dan mereka yang belum menentukan pilihannya tentu akan melirik Ganjar-Mahfud sebagai pasangan ideal,” lanjut dia.
Asip menyebut, dirinya dan tim yang tergabung dalam simpul relawan Ganjar-Mahfud untuk Indonesia atau Relawan Gajamada terus berfokus mengedukasi masyrakat tentang bahaya politik oligarki dan politik dinasti. Pendidikan politik ini sekaligus dalam rangka memperkenalkan pasangan Ganjar-Mahfud melalui sejumlah program dan terobosan politik dalam visi-misinya.
“Relawan Gajamada mendesain trayek mempopulerkan Ganjar-Mahfud melalui program kerja. Targeting Gajamada berfokus pada 3 domain, yaitu kalangan pemuda, pelajar, dan mahasiswa; kalangan awam, grasroot, dan masyarakat desa; lalu kalangan well educated, akademisi, pekerja seni,” kata Asip.
“Beda target tentu beda model kampanye. Ini penting terutama untuk melihat preferensi politik semua orang yang tentu berbeda, dan karena itu, relawan Gajamada akan adaptif untuk mengenalkan dan memenangkan Ganjar-Mahfud dengan cara meyakinkan dan mendapat simpati pemilih,” pungkas dia. (Welly)