Pemotongan Honorarium Hakim Agung Dalam Penanganan Perkara Sebesar Rp 97 Miliar, Terkonfirmasi Dugaan Korupsi

IMG 20240918 WA0152 jpg

Mediapublik.co Jakarta – Pemotongan Honorarium Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI, Tahun Anggaran 2022-2023-2024, dalam penanganan perkara (HPP) yang sedikitnya bernilai sebesar Rp. 97 milyar, terkonfirmasi sebagai dugaan tindak pidana korupsi, yang berkaitan dengan permintaan paksa atau pemerasan jabatan (kneveleraij), yang dilakukan secara berlanjut.

Kasus ini harus diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sekaligus menangkap pelakunya. Dikualifisir melanggar Pasal 12 huruf E dan F jo Pasal 18 UU RI 20 tahun 2021 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Nomor 55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi jo Pasal 55 ayat ke 1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP jo Pasal 3 dan 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan/atau Gratifikasi. Setidaknya hal itu tergambar dari seluruh pendapat narasumber Diskusi Publik, yang diselenggrakan Indonesia Police Watch, bersama-sama sejumlah elemen lembaga penggiat anti korupsi di Jakarta, Rabu (18/9/2024).

Para narasumner antara lain ahli pidana dari Universitas Triskakti, Abdul Fickar Hadjar, SH, MH, mantan Komisioner KPK, Saut Situmorang, Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, SH, dipandu moderator wartawan senior Hursubeno Arief.

“Unsur dugaan pidana korupsi pemberian gratifikasi sebagaimana yang dimaksud pasal 12 UU RI 20 tahun 2021 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 setidaknya telah terpenuhi “ujar Boyamin Saiman, SH, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi dalam paparannya.

Pemotongan Dana Honorarium Penanganan Perkara sebesar 25,95 % (diluar pemotongan untuk supervisor sebesar 7% dan 4% bagi tim pendukung administrasi yudisial) dari rekening Hakim Agung yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis dan/atau lisan dari Hakim Agung, pada awalnya mendapat penolakan dari sejumlah Hakim Agung, baik dalam forum-forum kecil maupun besar.

Pada pertengahan tahun 2023 beberapa Hakim Agung yang menolak mengalami pemanggilan untuk menghadap Wakil Ketua Mahkamah Agung RI, Sunarto. Selanjutnya diduga atas intervensi pimpinan Mahkamah Agung RI, para Hakim Agung diminta untuk membuat surat pernyataan yang diketahui masing-masing Ketua Kamar, yang ditandatangani diatas materai, yang pada pokoknya menyatakan bersedia dilakukan pemotongan honorarium Dana Honorarium Penanganan Perkara sebesar 40 %, dengan rincian 29% “tim pendukung teknis yudisial”, sisanya dibagikan kepada supervisor dan tim pendukung administrasi yudisial.

Tudingan itu langsung dibantah oleh juru bicara Mahkamah Agung RI, Suharto sehari sebelum digelar diskusi publik melalui Konperensi Pers di Jogyakarta (17/9) yang pada pokoknya dinyatakan, (1) Ada sembilan proses untuk menyelesaikan sebuah perkara di MA yang tidak hanya melibatkan Hakim Agung, tapi juga staf lainnya. (2) Mempertimbangkan hal tersebut, pimpinan Mahkamah menyepakati sebagian Dana Honorarium Penanganan Perkara sebanyak 40% didistribusikan (dipotong) kepada supporting unit atau tim pendukung yang terdiri dari supervisor, tim pendukung teknis dan manajemen, yang dituangkan dalam Keputusan Panitera Mahkamah Agung Nomor: 2349/PAN/HK.00/XII/2023 tentang Penetapan Satuan Besaran Honorarium Penanganan Perkara pada Mahkamah Agung RI. (3) Tidak ada pemotongan HPP yang dilakukan secara paksa dengan intervensi pimpinan MA (4) Pernyataan IPW tentang adanya tindak pidana korupsi berupa pemotongan HPP yang mencapai Rp. 97 milyar adalah tidak benar, karena didasarkan pengolahan data dan informasi yang keliru.

Namun dalil yang dibangun juru bicara Mahkamah Agung RI itu ternyata dalam diskusi publik itu patah. Menurut Sugeng Teguh Santoso, SH, Ketua IPW, bantahan Suharto justeru makin mengkofirmasi fakta tentang pemotongan dana HPP bagi hakim agung itu benar adanya, dan tidak memiliki landasan hukum. Kontruksi yang dibangun yang seolah-olah dana HPP itu diperuntukan pegawai yang duduk dalam cluster supporting system atau unit yang jumlahnya lebih dari 100 orang itu, juga runtuh. Lantaran faktanya dari dana pemotongan HPP sedikitnya senilai Rp. 97 milyar, setiap pegawai yang duduk dalam cluster supporting system atau unit hanya menerima Rp. 500 ribu per perkara.

“Disebut diduga ada intervensi pimpinan Mahkamah Agung RI terindikasi dari format dan isi surat pernyataan yang dibuat seragam, yang dikoodinir oleh pimpinan dan/atau tidak berdasarkan atas kehendak secara suka rela para hakim agung. Sehingga patut diduga telah terjadi pemaksaan yang bersifat massif dan terorganisir. Apabila tidak ada pemaksaan, sebagaimana yang didalilkan juru bicara Mahkamah Agung RI, Suharto, secara logis seharusnya tidak memerlukan adanya surat pernyataan. Karena Dana Honorarium Penanganan Perkara adalah hak para hakim agung. Sehingga yang seharusnya menentukan jumlah yang akan diberikan kepada supporting system atau unit adalah Hakim Agung itu sendiri. Namun itupun oleh hukum dilarang. Pegawai MA yang duduk dalam supporting system atau unit bukan orang susah yang perlu diberi sodakoh atau santunan. Dalam rangka Pemberian Dana Honorarium Penanganan Perkara kepada supporting system atau unit, pimpinan Mahkamah Agung seharusnya memperjuangkan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah untuk itu, sebagaimana yang dilakukan Mahkamah Konstitusi” tukasnya.

Sementara itu, ahli pidana dari Universitas Triskakti, Abdul Fickar Hadjar, SH, MH berpendapat, keberadaan surat pernyataan sebagai bentuk kesepakatan, yang ditandatangani hakim agung itu batal demi hukum, karena materi yang tertuang didalamnya masuk ke dalam ranah hukum publik, terkait pengaturan pembagian dana yang bersumber dari uang negara, yang mutlak harus mempunyai landasan hukum. Setiap rupiah uang negara harus dikeluarkan sesuai peruntukannya. “KPK dapat pro aktif memeriksa, tidak perlu harus menunggu adanya laporan terlebih dahulu” tukasnya.

Sedangkan Saut Situmorang, mantan Wakil Ketua KPK menyatakan dugaan korupsi pemotongan dana hakim agung pada Mahkamah Agung RI, yang terjadi di tubuh lembaga tinggi yudikatif dapat memperparah tingkat corruption perception indeks (CPI) atau yang dikenal Indeks Persepsi Korupsi Indonesia. Dalam kasus ini terindikasi dengan kuat telah terjadi tindak pidana korupsi.

“ Saya akan ikut kawal apabila teman-teman IPW akan melaporkan kasus ini ke KPK” ujarnya.

Panelis lainnya Petrus Selestinus, SH, Ketua TPDI, berpandangan dalam kasus ini telah terjadi peristiwa hukum pemberian gratifikasi secara berjenjang. Pertama, pemberian gratifikasi oleh penguasa dalam hal ini Presiden Joko Widodo kepada hakim agung selaku penyelenggara yudikatif, dengan dikemas ke dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan No. 55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Mens rea pemberian gratifikasi oleh penguasa dimaksudkan agar hakim agung tidak bersikap independen apabila menyidangkan perkara antara rakyat melawan kepentingan penguasa. Kedua, pemberian gratifikasi kepada pimpinan MA dan Panitera, yang memperebutkan barang “haram” yakni uang sebesar Rp. 97 milyar. ”Pola pengusutan kandungan korupsinya harus ditarik ke belakang.

“Kasus ini sangat ironis. Seharusnya dana yang bersifat insentif lebih tepat diberikan kepada hakim-hakim yang hidupmya merana di daerah “ kata Petrus.

Kasus dugaan korupsi pemotongan dana PPH bagi hakim agug sendiri bermula ketika pada tanggal 10 Agustus 2021, dikeluarkan penetapan atas Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan No. 55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi, yang mendasari hakim agung berhak atas honorarium dalam penanganan perkara kasasi dan peninjauan kembali paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak perkara diterima oleh unit penerima surat pada Ketua Majelis sampai perkara dikirim ke pengadilan pengaju, sebagaimana yang tercantum dalam Nota Dinas Panitera.

Kemudian, sejak tahun 2022 secara berlanjut sampai dengan tahun 2024 ternyata terjadi pemotongan Dana Honorarium Penanganan Perkara Para Hakim Agung. Pada tahun 2022 pembayaran Dana Honorarium Penanganan Perkara Para Hakim Agung dilakukan dengan penyerahan uang cash dan disertai tanda terima dalam 2 bentuk yaitu bukti tanda terima hakim agung yang 100% dan tanda terima bukti hakim agung yang Dana Honorarium Penanganan Perkaranya telah dipotong.

Pada tanggal 12 September 2023, landasan pemotongan dituangkan Peraturan Sekretaris Mahkamah Agung yang terakhir Surat Keputusan Sekretariat Mahkamah Agung RI No: 649/SEK/SK.KU1.1.3/VIII/2023 tanggal 23 Agustus 2023 tentang Perubahan Atas Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung No.: 12/SEK/SK/II/2023 tentang Standar Biaya Honorarium Penanganan Perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali Bagi Hakim Agung pada Mahkamah Agung Tahun Anggaran 2023 dan Nota Dinas Panitera MA No.: 1808/PAN/HK.00/9/2023 tentang Pemberitahuan Alokasi Honorarium Penanganan Perkara (HPP) tahun 2023.

Tata cara pembagian dan/atau penyerahan Dana Honorarium Penanganan Perkara Para Hakim Agung diawali, kepaniteraan Mahkamah Agung RI, dalam hal ini Asep Nursobah selaku Penanggungjawab HPP menyiapkan laporan majelis yang menyelesaikan perkara 90 (sembilan puluh) hari. Kemudian mengajukan permintaan pembayaran, dan selanjutnya Bank Syariah Indonesia (BSI) selaku Bank yang membayar mengirimkan sejumlah uang sebagaimana permintaan Asep Nursobah ke rekening masing-masing Hakim Agung yang berhak. Selanjutnya pada hari yang sama, Bank BSI secara otomatis memotong Dana Honorarium Penanganan Perkara sebesar 25,95 % dari rekening Hakim Agung (diluar pemotongan untuk supervisor sebesar 7% dan 4% bagi tim pendukung administrasi yudisial), yang awalnya dilakukan tanpa persetujuan tertulis dan/atau lisan dari Hakim Agung, dan dikumpulkan di rekening penampungan yang dikelola oleh Asep Nursobah. Sehingga patut diduga adanya pengumpulan uang dari potongan Dana Honorarium Penanganan Perkara yang diduga digunakan oleh Pimpinan Mahkamah Agung RI, dengan dalih untuk “tim pendukung teknis yudisial”, yang kemudian diduga dipakai untuk kepentingan pribadi, yang merugikan Para Hakim Agung yang berhak.

Menurut Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI 2023, jumlah perkara yang diputus sebanyak 27.365, tahun 2022 sebanyak 28.024 perkara. Tahun 2023, terdapat pemotongan Dana Honorarium Penanganan Perkara Para Hakim Agung untuk perkara kasasi biasa sejumlah Rp. 47,9 milyar, apabila diasumsikan pemotongan sebesar 25.95 % per perkara kasasi biasa (3 Majelis Hakim) x Rp6.750.000,00 x perkara yang diputuskan setahun. Sedangkan tahun 2022 untuk perkara kasasi biasa akan diperoleh pemotongan Dana Honorarium Penanganan Perkara Para Hakim Agung sebesar Rp. 49 milyar.

Akan Dilaporkan ke KPK

Indonesia Police Watch bersama-sama beberapa lembaga swadaya masyarakat akan melaporkan kepada KPK usai selesai menyusun rumusan hasil diskusi publik. Seluruh narasumber sepakat bahwa dugaan pemotongan dan penyalahgunaan Dana Honorarium Perkara (HHP) Bagi Para Hakim Agung Senilai Rp 97 Milyar dan/atau TPPU, yang telah terkonfirmasi sebagai tindak pidana korupsi.

Setidaknya kontruksi hukumnya serupa dan sebangun dengan dugaan perkara korupsi pemotongan dana hasil insentif pajak untuk pegawai Kab. Sidoarjo, Jawa Timur, yang telah menyebabkan Kepala Dinas BPPD, Aris Suryono dituntut JPU selama 7 tahun dan 6 bulan penjara di PN Tipikor Sidoarjo (9/9/24). Dan dugaan korupsi terdakwa Subhi, mantan Kepala BPPRD Kota Jambi yang telah divonis hakim 4 tahun, 5 bulan di Pengadilan Tipikor Jambi pada 20 Junuari 2022, lantaran dengan kekuasaannya melakukan pemotongan pembayaran dana insentif pemungutan pajak tahun 2017 hingga 2019.

“Materi diskusi publik membahas tentang judicial corruption yang terjadi bukan lantaran kebutuhan (corruption by need) melainkan dikualifikasi corruption by greed atau korupsi karena keserakahan. Kami akan mengundang sejumlah ahli hukum dan tokoh penggiat anti korupsi, dengan peserta dari kalangan akademisi Fakultas Hukum Universitas yang ada di Jakarta, lembaga-lembaga swadaya mayarakat, juru bicara MA, Direktorat Penyidikan Kejagung, Direktorat Penyidikan KPK, dan Direktorat Tipikor Bareskrim Polri. Hasil rumusan diskusi publik akan kami serahkan kepada KPK, KY dan Komisi III DPR RI untuk kepentingan penindakan dan pengawasan” tukas Sugeng Tegung Santoso, SH lagi.