Sepatutnya Mahkamah Konstitusi Menolak Permohonan Uji Materi Terkait Kewenangan Jaksa Untuk Menyidik Tipikor

IMG 20230607 WA0071
Keterangan foto : Dr. Reda Manthovani selaku Ketua I Persatuan Jaksa Indonesia (PERSAJA) Pusat menyampaikan, Persatuan Jaksa Indonesia sebagai pihak terkait melalui kuasa hukumnya telah memberikan alasan-alasan yang kuat mengapa permohonan uji materi tersebut sepatutnya ditolak, Rabu (7/6/2023)

Mediapublik.co Jakarta – Sepatutnya, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Uji Materi terkait Kewenangan Jaksa Untuk Menyidik Tindak Pidana Korupsi yang telah diregistrasi dengan perkara Nomor 28/PUU-XX1/2023. Hal itu disampaikan Persatuan Jaksa Indonesia dalam agenda sidang mendengarkan keterangan Presiden, keterangan pihak terkait Persatuan Jaksa Indonesia dan pihak terkait Kejaksaan Agung di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Rabu 7 Juni 2023.

Dr. Reda Manthovani selaku Ketua I Persatuan Jaksa Indonesia (PERSAJA) Pusat menyampaikan, Persatuan Jaksa Indonesia sebagai pihak terkait melalui kuasa hukumnya telah memberikan alasan-alasan yang kuat mengapa permohonan uji materi tersebut sepatutnya ditolak.

“Selain argumen ne bis in idem, permohonan yang diajukan oleh pihak pemohon tidak memiliki dasar hukum dan konstitusional yang jelas,”

Kewenangan Jaksa, menurutnya dalam melakukan penyidikan sebenarnya merupakan hal yang konstitusional dan telah diakui sebagai praktik umum secara universal. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 dan Putusan Nomor 16/PUU-X/2012 secara tegas menyatakan bahwa UUD 1945 tidak melarang kewenangan Jaksa dalam melakukan penyidikan.

Dia menambahkan, kewenangan Jaksa untuk melakukan penyidikan adalah implementasi dari standar universal yang tercantum dalam Guidelines on the Role of Prosecutors. Selain itu, kewenangan Jaksa untuk menyidik suatu tindak pidana juga telah sejalan dengan tren global dan nasional yang cenderung menggunakan sistem multi-agensi untuk menjalankan kewenangan penyidikan.

Dalam penjelasannya, Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) dan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) secara eksplisit juga mendorong penggunaan pendekatan multi-agensi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

Hal itu dapat terlihat dari Putusan-putusan terkini dari Mahkamah Konstitusi, seperti Putusan Nomor 102/PUU-XVI/2018 yang mengakui kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam melakukan penyidikan, serta Putusan Nomor 15/PUU-XIX/2021 yang memberikan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk menyidik tindak pidana pencucian uang, semakin memperkuat tren penggunaan pendekatan multi-agensi.

“Menghapuskan kewenangan Jaksa dalam melakukan penyidikan bukan hanya menjadi ancaman bagi upaya pemberantasan korupsi, tetapi juga pemberantasan tindak pidana perusakan hutan dan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM),” ungkapnya.

Kami berharap Mahkamah Konstitusi dapat mempertimbangkan dengan seksama alasan-alasan yang disampaikan oleh Persatuan Jaksa Indonesia dan kuasa hukumnya. Keberadaan kewenangan Jaksa dalam melakukan penyidikan terutama tindak pidana korupsi, sangat penting dalam upaya pemberantasan kejahatan tersebut.

Dalam keterangannya, Persatuan Jaksa Indonesia juga mengingatkan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi, perusakan hutan, dan pelanggaran HAM berat adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat dan lembaga negara. Oleh karena itu, keberadaan kewenangan Jaksa dalam melakukan penyidikan merupakan langkah yang mendukung sinergi antar lembaga dalam mengatasi kejahatan-kejahatan tersebut.

Diketahui permohonan sebagai pihak terkait dalam perkara uji materi ini diajukan oleh Dr. Amir Yanto Jaksa Agung Muda bidang Intelijen selaku Ketua Umum Persatuan Jaksa Indonesia serta Dr. Reda Manthovani Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta selaku Ketua I dan Dr. Narendra Jatna Kepala Kejaksaan Tinggi Bali selaku Ketua Bidang Organisasi.